Allah Ta’ala berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43).
Berikut ini beberapa nukilan ucapan ulama Ahli Tafsir tentang tafsirnya:
Ibnu Abbas rahimahullah berkata:
كان الرجل في الجاهلية يعبد الحجر الأبيض زمانا ، فإذا رأى غيره أحسن منه عبد الثاني وترك الأول
“Dahulu seseorang di masa jahiliyyah menyembah batu putih untuk beberapa waktu lamanya, maka jika ia melihat ada sesembahan (selain Allah) yang lain,yang lebih baik darinya, maka ia sembah sesembahan yang kedua, ia tinggalkan sesembahan yang pertama tadi” (Adwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah, hal. 1322).
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:
ذلك الكافر اتخذ دينه بغير هدى من الله ولا برهان
“Itu adalah seorang yang kafir yang mengambil agamanya tanpa petunjuk dari Allah dan tanpa dalil” (Adwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah, hal.1322).
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
لا يهوى شيئا إلا تبعه
“Tidaklah ia menginginkan sesuatu kecuali ia turutinya” (Adwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah, hal. 1322).
Qotadah rahimahullah berkata:
كلما هوى شيئا ركبه ، وكلما اشتهى شيئا أتاه ، لا يحجزه عن ذلك ورع ولا تقوى
“Setiapkali menginginkan sesuatu ia turutinya, dan setiapkali menginginkan sesuatu senantiasa ia penuhinya, (sedangkan) waro’ dan ketaqwaan tidak mampu menghalanginya” (Adwaa’ul Bayaan,Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah, hal.1322.).
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah ditanya:
أفي أهل القبلة شرك ؟ قال : نعم ، المنافق مشرك ، إن المشرك يسجد للشمس والقمر من دون الله ، وإن المنافق عبد هواه ، ثم تلا هذه الآية : { أرأيت من اتخذ إلهه هواه أفأنت تكون عليه وكيلا}
“Apakah di tengah-tengah ahlul qiblat (kaum muslimin) bisa terjadi kesyirikan? Beliau menjawab, ‘Ya, seorang munafik itu hakikatnya musyrik. Sesungguhnya orang musyrik sujud kepada matahari dan bulan -sesembahan selain Allah- dan orang munafik menyembah hawanya. Kemudian ia membaca Ayat ini,’
{أرأيت من اتخذ إلهه هواه أفأنت تكون عليه وكيلا}
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43) (Adwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syinqithi rahimahullah, hal. 1322.).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan:
أي : مهما استحسن من شيء ورآه حسنا في هوى نفسه ، كان دينه ومذهبه
“Yaitu bagaimanapun orang tersebut menganggap baik suatu perkara dan memandangnya baik menurut hawa nafsunya, maka (menurutnya) itu adalah agamanya dan madzhabnya” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/77 ).
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah setelah menukilkan beberapa tafsir di atas berkata:
فأنت ترى فيما ذكره ابن عباس وأبي رجاء العطاردي والحسن وقتادة أن هذا المتخذ إلهه هواه ، عبد الحجر ، أو نافق ، أو ما هوى شيئا إلا ركبه وأتاه ،
وهذا الأخير يتضمن فعل الشرك والكفر ، فمن كانت جميع أفعاله راجعة للهوى ، فلابد أن يكون فاعلا للشرك والكفر تاركا لجميع الأعمال من صلاة وغيرها ، فلا إشكال في كون هذا مشركا شركا أكبر ، ويكون تأليهه للهوى تأليها يخرجه عن الملة ، بخلاف من لم يصل به هواه إلى عبادة الحجر ، أو نحوه من صور الشرك الأكبر أو الكفر الأكبر
“Anda bisa memperhatikan tafsir yang disampaikan Ibnu Abbas, Abu Raja` Al-‘Aththaaridi, Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah, bahwa orang yang disebut sebagai pengambil hawa nafsunya sebagai tuhannya, (bisa) dalam bentuk menyembah batu atau munafik atau tidaklah menginginkan sesuatu kecuali ia turuti dan lakukan, dan tafsiran yang terakhir ini mengandung kesyirikan dan kekufuran, maka barangsiapa seluruh perbuatannya kembali kepada (memperturutkan) hawa nafsunya pastilah melakukan syirik dan kekafiran, ia meninggalkan seluruh amal (baik) berupa shalat dan selainnya, maka tidak ada keraguan sama sekali orang ini dikatakan musyrik syirik besar, sehingga perbuatannya menuhankan hawa nafsunya adalah jenis penuhanan yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Hal ini berbeda dengan orang yang hawa nafsunya tidak sampai membawanya kepada menyembah batu atau yang semisalnya berupa syirik besar atau kekufuran besar ” (Islamqa.info/ar/145466).
Allah berfirman:
{ أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ }
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (menyesatkannya)”.
Berikut tafsirnya:
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata:
فقال بعضهم: معنى ذلك: أفرأيت من اتخذ دينه بهواه, فلا يهوى شيئا إلا ركبه, لأنه لا يؤمن بالله, ولا يحرِّم ما حَرَّمَ, ولا يحلل ما حَللَ, إنما دينه ما هويته نفسه يعمل به
“Sebagian Ahli Tafsir mengatakan, “Maknanya, maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan agamanya hawa nafsunya, tidaklah ia menginginkan sesuatu kecuali ia menurutinya, karena ia tidak beriman kepada Allah, dan tidak mengharamkan sesuatu yang Dia haramkan, serta tidak pula menghalalkan sesuatu yang Dia halalkan. Agamanya semata-mata hanyalah apa yang disukai jiwanya, ia lakukan”. (Quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura45-aya23.html#tabary).
Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika berdalil dengan surat Al-Jaatsiyah: 23 dalam menetapkan bahwa kemaksiatan semuanya adalah bentuk kesyirikan mengatakan:
أما بالنسبة لجعل المعاصي كلها شركاً : فهذا نعم ، بالمعنى العام ؛ لأن المعاصي إنما تصدر عن هوى ، وقد سمى الله تعالى من اتبع هواه متخذاً له إلهاً ، فقال : { أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ } [الجاثية:23] .”
“Adapun tentang mengelompokkan kemaksiatan semuanya kedalam kesyirikan, maka ini benar jika ditinjau dari makna umum karena maksiat hanyalah berasal dari menuruti hawa nafsu, dan Allah ta’ala telah menamai orang yang mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang mengambilnya sebagai tuhan baginya, Allah berfirman:
{ أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ }
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (menyesatkannya)” (Liqo`ul babil maftuh : 13/192, dinukil dari Islamqa.info/ar/145466).
Dari tafsiran para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan adalah dengan mengikuti dan tunduk kepadanya, hal ini bisa menyeret pelakunya untuk melakukan syirik besar, syirik kecil, bid’ah, dosa besar ataupun dosa kecil (Diolah dari: Islamqa.info/ar/145466).
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment