5.
Fatwa
Syaikh
Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah
Pertanyaan:
“
Manakah yang lebih
utama : i'tikaf wanita di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di
rumah mereka (untuk beribadah, pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”
Beliau
menjawab:
Duduknya
mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) lebih utama dan hal
ini adalah perkara yang tidak ada keraguan (didalamnya)!
Karena
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda
:
(صلاة
المرأة في بيتها أفضل)
“Sholat
seorang wanita di rumahnya lebih utama” dan
seterusnya sampai akhir hadits yang menunjukan bahwa sholat seorang
wanita di rumahnya lebih utama daripada sholatnya di masjid.
Namun,
janganlah wanita tersebut dilarang dari pergi ke masjid jika ia
menginginkannya.
Dengan
demikian berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk beribadah) dan tidak
mendatangi masjid itu lebih utama baginya.
Akan
tetapi (yang perlu diingat) bahwa i'tikaf tidak boleh dilakukan
kecuali di masjid dan tidak sah dilakukan di rumah.
Jika
ia ingin i'tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia
dipersilahkan mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika
menginginkannya, pent.), namun rumahnya lebih utama baginya”.1
6.
Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
“
Apakah wanita
seperti laki-laki dalam masalah sholat sunah Rawatib, Witir, Dhuha,
dan duduk di masjid setelah Fajar (sholat Shubuh) hingga terbit
matahari -maksudnya- di tempat sholatnya? Tolong jelaskan hal ini dan
Jazakumullahu khairan”
Beliau
menjawab:
Pada
asalnya bahwa laki-laki dan wanita sama dalam masalah hukum Syar'i
kecuali sesuatu yang ditunjukkan dalil bahwa sesuatu tersebut khusus
untuk laki-laki, barulah hukumnya khusus untuk laki-laki, atau (dalil
menunjukkan) sesuatu itu khusus bagi wanita, maka hukumnyapun khusus
pula bagi wanita.
Sholat
jama'ah, misalnya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ibadah
tersebut khusus bagi laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk
sholat berjama'ah, dan menunaikannya di masjid.
Adapun
wanita, maka ia tidak diwajibkan untuk sholat berjama'ah, tidak
wajib baginya sholat berjama'ah di masjid bersama dengan jama'ah
laki-laki, dan tidak wajib pula baginya berjama'ah di rumahnya.
Bahkan
sesungguhnya (sholat di) rumahnya lebih utama baginya daripada
menghadiri sholat berjama'ah bersama dengan jama'ah laki-laki (di
masjid), karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda
:
«لا
تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير
لهن»
“Janganlah
kalian larang wanita hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, kalimat
yang terakhir ini:
«وبيوتهن
خير لهن»
“namun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”,
walaupun tidak terdapat dalam Ash-Shahihain,
namun
kalimat ini shahih.
Oleh
karena itu, wanita itu seperti laki-laki dalam seluruh permasalan
hukum, maka jika ia sedang bersafar, disyari'atkan baginya untuk
melakukan ibadah seperti ibadah yang dilakukan laki-laki, maksudnya
ia tidak melakukan sholat: rowatib Zhuhur dan rowatib Maghrib, dan
rowatib Isya', adapun selebihnya dari sunnah-sunnah lainnya, maka
tetap tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana laki-laki melakukan hal
itu.
Adapun
masalah duduknya seorang wanita di tempat sholatnya di dalam rumahnya
hingga terbit matahari, lalu sholat dua raka'at untuk mendapatkan
pahala umroh dan haji, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang
ulama berselisih tentang keshahihannya itu, maka ia tidak bisa
mendapatkan keutamaan tersebut.
Karena
haditsnya (dalam masalah ini) adalah :
(من
صلى الصبح في جماعة ثم جلس)
“Barangsiapa
yang sholat Shubuh dengan berjama'ah kemudian duduk.... ”,
sedangkan
wanita tersebut bukanlah orang yang sholat Shubuh berjama'ah (di
masjid), dan jika ia sholat (shubuh) di rumahnya, maka ia tidak bisa
mendapatkan pahala ini, namun, ia tetap berada di atas kebaikan.
Jadi,
jika ia duduk dzikrullah,
mengucapkan
“Subhanallah”,
“La ilaha illallah” dan
membaca Alquran sampai terbit matahari, kemudian matahari meninggi,
ia melakukan sholat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, maka
ia berada di atas kebaikan”.2
(Bersambung,
in sya Allah)
Sumber: www.muslim.or.id
2.
Jilsaat Ramadhaniyyah, lisy-Syaikh Al-Utsaimin, rahimahullah (10/19)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Post a Comment