Ihsan
sampai akhir Ashl ke-2
الحمد
لله الكريم المنان، ذي الفضل والإحسان
الذي هدانا للإيمان، وفضّل ديننا على
سائر الأديان، أشهد
أن لا إله إلا الله وأشهد
أنْ محمداً عبدُه ورسوله، المبعوث إلى
الثقلين الإنس والجان، صلى الله وسلم
عليه وعلى آله وأصحابه، والتابعين لهم
بإحسان.
MATAN
“Tingkatan
kedua: Iman.
Iman
memiliki 70 cabang lebih. Yang paling tinggi adalah ucapan (لَا
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ)
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan
malu adalah cabang dari iman.
Rukun
Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman
terhadap takdir baik perkara yang ditaqdirkan itu baik, maupun
perkara yang ditaqdirkan itu buruk.”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Kadar
masing-masing dari Rukun Iman
Rukun
Iman ada enam, dan jika ditinggalkan satu saja (totalitas atau dalam
batasan Ashlul Iman) maka pelakunya tidaklah dikatakan sebagai
seorang mukmin, karena sebenarnya ia tidak beriman dengan sah.
Dan
masing-masing
dari Rukun Iman terdapat kadar ashlul Imannya dan kamalul Imannya.
Karena
Iman
terbagi 2 :
أصل
الإيمان
(Pokok
Iman :batasan minimal kesahan iman,jika ditinggalkan kufur)
كمال
الإيمان
ada
2 macam :
الواجب
(Kesempurnaan
Iman yang wajib,jika ditinggalkan berdosa)
المستحب
(Kesempurnaan
Iman yang, jika ditinggalkan tidak berdosa,namun terluput
Kesempurnaan Imannya)
Adapun
pernyataan penulis bahwa Iman memiliki 70 cabang lebih, dalilnya:
الإِيمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ
شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا
إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman
itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan
‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”
(HR.
Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Dalam
hadits ini terdapat gambaran iman yang diperumpamakan dengan sesuatu
yang bercabang, sebagai berikut:
Cabang
Iman Qauliyyah/Ucapan lisan : ditunjukkan oleh “Ucapan La Ilaha
Illallah”.
Cabang
Iman ‘Amaliyyah/Amal Jawarih : ditunjukkan oleh“menyingkirkan
gangguan”.
Cabang
Iman Qalbiyyah/Hati : ditunjukkan oleh “Malu”
Kesimpulan:
Iman itu qoulun dan amalun, zhahir dan batin, inilah keyakinan Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
MATAN
“Dalil
mengenai rukun yang enam ini adalah firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ
وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan
(beragama ini), akan tetapi sesungguhnya kebajikan (agama ini) ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul.”
[QS. Al-Baqarah [2]: 177]
Adapun
dalil takdir adalah firman Allah Ta’ala:
إِنَّا
كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya
segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir-takdir.”
[QS. Al-Qamar [54]: 49].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 177, disebutkan bahwa “Beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul
adalah bagian dari keimanan batin dalam agama Islam. Ini berarti
dalil atas 5 Rukun Iman.
Adapun
dalil bagi rukun Iman terhadap taqdir adalah QS. Al-Qamar [54]: 49.
Kalau
kita perhatikan QS. Al-Baqarah [2]: 177 di
atas, hanya disebutkan secara terang didalamnya 5 Rukun Iman,
sedangkan satu Rukun Iman lainnya, yaitu Iman terhadap taqdir, tidak
disebutkan secara terang.
Menjawab
hal ini, kita katakan bahwa Iman terhadap taqdir masuk kedalam Iman
kepada Allah, karena mentaqdirkan perkara adalah perbuatan Allah, dan
pembahasan taqdir kembali kepada pembahasan ilmu Allah, kehendak-Nya,
pencatatan taqdir dan penciptaan yang dilakukan oleh-Nya, yang semua
ini masuk kedalam Rukun Iman yang pertama: Iman kepada Allah. Dengan
demikian hakekatnya QS. Al-Baqarah : 177 itu mengandung 5 Rukun Iman
Dalil-dalil
tentang rukun Iman.
1.
Iman kepada Allah,
2.
Malaikat-Nya,
3.
Kitab-kitab-Nya,
4.
Rasul-rasul-Nya,
5.
Hari Akhir
secara
terang (tersurat), dan mengandung Rukun Iman yang keenam, yaitu Iman
terhadap taqdir secara tersirat.
MATAN
Tingkatan
ketiga: Ihsan. Ihsan hanya memiliki satu rukun, yaitu:
«
أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ »
“Engkau
beribadah kepada Allah dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya, jika
engkau tidak bisa (beribadah dengan seolah-olah) melihat-Nya, maka
(hayatilah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu.”
[Shahih al-Bukhari: Kitab al-Iman (no. 50) dan Kitab tafsir al-Qur`an
(no. 4777), Shahih Muslim: Kitab al-Iman (no. 8), Sunan an-Nasa`i:
Kitab al-Iman wa Syaraa`i’ihi (no. 4990, 4991), Sunan Abu Dawud:
Kitab as-Sunnah (no. 4695), dan Musnad Ahmad (I/27, I/51)].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Ihsan
adalah sebuah tingkatan dalam beragama Islam, bahkan ini adalah
tingkatan yang tertinggi dalam beragama Islam. Setiap muhsin pastilah
mukmin dan muslim, dan untuk meraih status muhsin, haruslah menjadi
muslim dan mukmin terlebih dahulu.
Ihsan
secara bahasa
berbuat baik, lawan dari isa'ah
:
berbuat buruk.
Dan
yang dimaksud Ihsan disini adalah
ihsanul 'ibadah,
artinya memperbagus ibadah kepada Allah, menyempurnakannya, baik
secara zhahir maupun batin.
Kadar
Ihsan dalam ibadah itu ada dua,
yaitu:
1.
Kadar minimal atau wajib,
yaitu dengan memenuhi dua syarat diterimanya amal : ikhlas dan
mutaba'ah. Ini kadar minimal sebuah amal disebut hasan (sholeh), dan
perbuatannya disebut Ihsan (beramal dengan baik), pelakunya disebut
muhsin.
2.
Kadar yang mustahab (sunnah), kadar
inilah yang dimaksud penulis sebagai tingkatan beragama Islam yang
tertinggi.
Ihsan
dalam beribadah yang musatahab inilah yang dimaksud Penulis, dan
rukunnya ada satu, yaitu :
Engkau
menyembah Allah dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya, jika engkau
tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Sedangkan
Ihsan dalam beribadah yang musatahab tersebut masih
bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih tinggi dari yang lainnya.
Tingkatan
Ihsan dalam beribadah ada dua tingkatan,
yaitu:
1.
Tingkatan muraqabah
(Keyakinan dilihat oleh Allah)
فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Jika
engkau tidak bisa (beribadah dengan seolah-olah) melihat-Nya, maka
(hayatilah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu”
Maksudnya
: menghadirkan
penghayatan bahwa seorang hamba dilihat oleh Allah dalam beribadah.
Dan
jenis ibadah yang bernuansa muraqabah ini adalah jenis ibadah lari
(dari murka Allah) dan takut kepada Allah.
2.
Tingkatan musyahadah
(Menyaksikan)
أَنْ تَعْبُدَ
اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
“Engkau
beribadah kepada Allah dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya”
Maksudnya
:
Beribadah
dengan keyakinan, keimanan, dan keikhlasan yang sempurna, serta ingat
Allah dengan menghayati pengaruh nama dan sifat Allah dalam
peribadatan, sehingga seolah-olah seorang hamba melihat Allah dalam
beribadah kepada Allah.
Dan
ini nuansa ibadahnya adalah ibadah mencari (ridho Allah), dan
rindu/cinta untuk berjumpa dengan Allah, sehingga merasakan kelezatan
dan ketenangan dalam beribadah.
Dan
tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan Ihsan yang sebelumnya
(tingkatan muraqabah).
MATAN
“Dalil
Ihsan adalah firman Allah Ta'ala:
((
إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا
وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ ))
“Sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat
ihsan.”
[QS. An-Nahl [16]: 128]”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Dalam
QS. An-Nahl [16]: 128, Allah kabarkan bahwa Dia bersama
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan,
maksudnya: Allah mengetahui keadaan mereka dan menolong, menehuhkan,
serta memberi taufik kepada mereka.
Inilah
yang disebut dengan kebersamaan Allah yang khusus yang berarti
kebersamaan pertolongan, peneguhan dan pemberian taufik-Nya.
Nah,
dalam ayat ini mereka yang mendapatkan kebersamaaan Allah yang
khsusus disifati dengan dua sifat, yaitu: bertakwa dan berbuat ihsan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa ayat ini sebagai dalil tingkatan Ihsan dan
balasan bagi muhsinun mendapatkan kebersamaan Allah yang khusus.
MATAN
“Dan
juga firman Allah Ta'ala:
((
وَتَوَكَّلْ
عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (٢١٧)
الَّذِي
يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ
(٢١٨)
وَتَقَلُّبَكَ
فِي السَّاجِدِينَ (٢١٩)
إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ))
“Dan
bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,
Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat
pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
[QS. Asy-Syu’araa [26]: 217-220].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Dalam
QS. Asy-Syu’araa [26]: 217-220, Allah mengkabarkan
tentang diri-Nya, bahwa Dia melihat Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam
saat beribadah kepada Allah, melihat pula perubahan gerak beliau saat
sholat mengimami para sahabatnya, maka tentunya hal ini menuntut kita
untuk berbuat Ihsan, sehingga ayat ini merupakan dalil salah satu
dari tingkatan Ihsan, yaitu :
tingkatan muraqabah
فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(menghadirkan
penghayatan bahwa seorang hamba dilihat oleh Allah dalam beribadah).
MATAN
“Dan
firman-Nya pula:
((
وَمَا
تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ
مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ
عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا
إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ))
“Tidaklah
kamu berada dalam suatu keadaan dan tidak pula membaca suatu ayat
dari Alquran dan tidak pula kalian mengerjakan suatu amal, melainkan
Kami menyaksikan kalian di waktu kalian melakukannya.”
[QS. Yunus [10]: 61].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Dalam
QS. Yunus [10]: 61 terdapat kabar bahwa Allah menyaksikan keadaan
Rasul-Nya
shallallahu
'alaihi wa sallam
dan umatnya saat beribadah dan mengerjakan amal,
melihatnya dan mendengar ucapan mereka, maka hal ini menuntut kita
untuk berbuat Ihsan dalam beribadah, karena Allah melihat, mendengar
menyaksikan, dan mengetahui keadaan hamba-Nya.
Sehingga
ayat ini merupakan dalil dari Ihsan.
MATAN
“Dalil
dari as-Sunnah adalah hadits Jibril yang terkenal dari Umar
radhiyallahu
‘anhu,
beliau berkata:
بَيْنَمَا
نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ، شَدِيْدُ
بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ
الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ
السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا
أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى
رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى
فَخِذَيْهِ، وَقَالَ:
يَا
مُحَمَّدُ!
أَخْبِرْنِيْ
عَنِ الْإِسْلَامِ.
قَالَ:
«أَنْ
تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ،
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ،
وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ
الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ،
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً»
فَقَالَ:
صَدَقْتَ.
فَعَجِبْنَا
لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ.
قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي
عَنِ الْإِيْمَانِ.
قَالَ:
«أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
خَيْرِهِ وَشَرِّهِ»
قَالَ:
صَدَقْتَ.
قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي
عَنِ الْإِحْسَانِ.
قَالَ:
«أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ،
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ»
قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي
عَنِ السَّاعَةِ.
قَالَ:
«مَا
الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ
السَّائِلِ»
قَالَ:
فَأَخْبِرْنِي
عَنْ أَمَارَاتِهَا.
قَالَ:
«أَنْ
تَلِدَ الْأَمَّةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ
تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ
رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي
الْبُنْيَانِ»
قَالَ:
فَمَضَى،
فَلَبِثْنَا مَلِيًّا.
فَقَالَ:
«يَا
عُمَرُ أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلِ؟»
قُلْتُ:
اَللَّهُ
وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ:
«هَذَا
جِبْرَائِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
أَمْرَ دِيْنِكُمْ»
“Ketika
kami tengah berada di majelis bersama Rasulullah, tiba-tiba tampak
dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih,
berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan jauh, dan tidak seorang pun di antara kami yang
mengenalnya. Lalu dia duduk di hadapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
dan menempelkan lututnya pada lutut beliau serta meletakkan tangannya
di atas paha beliau,
selanjutnya
dia berkata, ‘Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.’
Beliau
menjawab, ‘Islam itu Anda bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, Anda
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan,
dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika Anda mampu
melakukannya.’ Orang itu berkata, ‘Engkau benar.’ Kami pun
heran, dia yang bertanya tetapi dia pula yang membenarkan. Orang itu
berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang Iman.’ Beliau
menjawab, ‘Anda beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari Kiamat dan
kepada takdir yang baik maupun yang buruk.’ Dia berkata, ‘Engkau
benar.’ Orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang
ihsan.’ Beliau menjawab, ‘Engkau
beribadah kepada Allah dalam keadaan seolah-olah melihat-Nya, jika
engkau tidak bisa (beribadah dengan seolah-olah) melihat-Nya, maka
(hayatilah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu
.’
Orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang Kiamat.’
Beliau menjawab, ‘Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang
bertanya.’ Selanjutnya orang itu berkata lagi, ‘Beritahukan
kepadaku tentang tanda-tandanya.’ Beliau menjawab, ‘Jika budak
perempuan telah melahirkan anak majikannya, jika Anda melihat
orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan
penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.’ Kemudian
pergilah ia, aku diam beberapa lama kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata kepadaku, ‘Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya
itu?’ Saya menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’
Beliau bersabda, ‘Ia
adalah Jibril, dia datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan
agama kalian.’”
[Shahih: Shahih Muslim (no. 8), Sunan at-Tirmidzi (no. 2610)–penj].”
[Sampai
disini perkataan penulis rahimahullah]
PENJELASAN
Hadits
ini disebutkan di akhir pembahasan tentang
Ma'rifatul Dinil Islam,
sungguh hal ini adalah penempatan materi yang indah, karena dalam
hadits ini terdapat rangkuman dari awal sampai akhir dari Ma'rifatul
Dinil Islam, bahwa
didalam menjalankan agama Islam terdapat tiga tingkatan, ketiga
tingkatan ini, sebagian tingkatannya lebih tinggi dari yang lainnya.
Tingkatan
Ihsan lebih tinggi dari tingkatan Iman, dan tingkatan Iman lebih
tinggi dari tingkatan Islam.
Jadi
setiap muhsin itu muslim dan mukmin, namun tidak setiap muslim itu
mukmin dan muhsin.
Sehingga
untuk bisa mencapai status mukmin, haruslah muslim terlebih dahulu,
dan untuk bisa mencapai status muhsin, haruslah mukmin terlebih
dahulu.
Tapi
satu hal yang pasti bahwa muslimun,
mukminun, dan muhsinun ketiga-tiganya adalah para pemeluk agama
Islam, dan masing-masing tingkatan tetap saja memiliki keutamaan.
Dan
diantara kandungan lainnya dari hadits ini adalah bahwa dalam hadits
ini nampak penyebutan Islam dan Iman secara bersamaan, sehingga Islam
digambarkan sebagai tingkatan
melaksanakan amalan zhahir, adapun Iman digambarkan sebagai tingkatan
melaksanakan amalan batin, meskipun masing-masingnya diiringi dengan
kadar minimal pasangannya.
Referensi
terjemah matan :
Post a Comment